Saat kita menerawang langit dijagat raya maka yang muncul dalam benak kita adalah betapa besar kekuasaan Allah Swt. Begitu gemerlap cahaya bintang di malam hari yang cerah, yang menunjukkan sebenarnya jagat raya ini memiliki jarak tak terhingga. Dengan kata lain kita akan berfikir kalau jarak ke suatu bintang amatlah jauh dan mengukurnya tidak sama dengan alat ukur yang dipergunakan bumi. Rasa penasaran akan wujud bintang di langit itulah, yang membuat orang-orang dari berbagai bangsa di dunia mencari alat yang sanggup menjawab hipotesa kita akan maha luasnya jagad raya ini. Kalau berdasarkan ilmu fisika maka jawabannya adalah teleskop alatnya, maka tidak ada salahnya kalau kita sesekali meluangkan waktu berkunjung ke sebuah observatorium yang memiliki teleskop. Walaupun demikian kita sering melihat ada yang menjual teleskop, yang harganya lumayan mahal.
Di negeri kita ada 2 (dua) buah observatorium yaitu di Gedung Planetarium Jakarta dan yang satunya lagi Lembang, Bandung. Yang ada di gedung planetarium, Jakarta, tidak masuk dalam Kode Observatorium Internasional sedangkan yang di Lembang, Bandung mempunyai kode 299, merupakan observatorium pertama di Indonesia bahkan pertama di daerah khatulistiwa. Dan observatorium Bosscha ini, merupakan bagian dari 3000 observatorium yang ada di dunia ini, sebagian besar berada dinegara-negara maju terutama Amerika Serikat yang memiliki observatorium dengan berbagai type dan ukuran.
Kalau kita merenung sebenarnya apa yang bermanfaat dari melihat bintang dilangit selain fenoma-fenomena alam saja, atau sekadar menjadi prestise suatu negara, ataukah lebih dari itu. Sebetulnya dengan kita mempelajari benda-benda angkasa yang ada di jagat raya akan mampu mempelajari Astronomi dan dari sini kita akan memperoleh bagaimana sebenarnya peradaban kita ini hal itu dapat kita peroleh saat kita tahu bahwa satu titik bintang dilangit itu sebenarnya adalah sekumpulan tata surya yang membentuk menjadi sebuah galaksi, karena jauhnya maka kelihatan hanya sebuah titik. Karena kalau diukur cahaya bintang yang sampai pada mata kita itu mungkin umurnya sama dengan sebelum adanya nabi Adam, yang berarti sekarangpun bintang yang kita lihat itu sebenarnya sudah berubah.
Bila kita ingin menggunakan observatorium Bosscha yang ada di Lembang, Bandung itu maka hal yang harus kita pertimbangkan adalah sampai sejauh mana observatorium itu membantu kita melihat benda angkasa dengan sebenarnya. Observatorium itu memiliki 5 (lima) buah teleskop dengan jarak titik api (fokus) dan diameter yang berbeda dengan karakteristik sebagai berikut :
No. | Nama Teleskop | diameter | Fokus | Keterangan |
1. | Refraktor Ganda Zeiss | 60 cm | 10,7 m | 2 lensa |
2. | Schmidt Bima Sakti | 71,12 cm | 2,5 m | |
3. | Refraktor Bamberg | 37 cm | 7 m | |
4. | Cassegrain GOTO | | | |
5. | Refraktor Unitron | 13 cm | 87 cm | |
Masing-masing teleskop ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, namun bila kita perbandingkan dengan teleskop yang dimiliki oleh observatorium lain di dunia ternyata kita sangat ketinggalan, karena observatorium yang dibangun oleh seorang tuan tanah perkebunan the Malabar Karel Albert Rudolf Bosscha itu sudah berdiri sejak tahun 1923, merupakan kemajuan teknologi pada tahun itu. Jadi perlu untuk dikembangkan lebih lanjut teknologinya. Sehingga penyebaran pengetahuan keastronomian tidak hanya di kawasan Lembang namun juga dikembang di kawasan lain dari Indonesia.
Kalau melihat Observatorium yang menggunakan teknologi optik, yang dipergunakan untuk mengamati jagad raya itu maka sekarang sedang mengalami kendala dari kemajuan pesat wilayah disekitar observatorium itu. Dimana industri pariwisata yang begitu menggeliat di Lembang, dimana pembangunan resort yang membabi buta yang membuat semakin menurunnya tingkat ketajaman lensa sebagai akibat berpendarnya cahaya-cahaya disekitar lokasi observatorium.
Solusi yang mungkin adalah memindahkan teleskop optik yang ada ketempat lain dan merubah teleskop optik yang berada di Lembang itu menjadi teleskop jenis lain misalnya teleskop radio, disamping itu pula untuk menjaga kawasan agar masih memungkinkan, seyogyanya pemerintah daerah setempat tidak memberi perijinan pembangunan resort yang tidak ramah lingkungan di kawasan sekitar “Bosscha Sterrenwacht” (istilah yang dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Lembang merupakan wilayah Bandung Utara yang peruntukan sebagai bagian dari kawasan resapan air pula, seharusnya Pemerintah daerah lebih bijak dalam pemberian ijin tidak menghalalkan segala cara.
Kedepannya bangsa kita yang besar sangatlah membutuhkan suatu wahana angkasa luar yang dapat diandalkan karena ancaman terhadap ummat manusia pada umumnya bangsa Indonesia khususnya ada di jagat raya, sebagaimana yang terjadi pada Periode Cretaceous dimana mahluk Dinosaurus masih hidup yang mengalami kepunahan dikarenakan ada benturan komet yang menghantam permukaan bumi beberapa abad lampau, yang menyebabkan terciptanya gurun pasir Sahara. Hal itu bisa dibuktikan dengan apa yang terjadi di Planet Yupiter pada tanggal 16 Juli 1994 pukul 20.15 GMT yang tertabrak oleh beberapa buah asteroida yang serupa dengan komet memiliki sandi “Comet Shoemaker Levy 9”. Perhatikan gambar akibat tumbukan komet pada permukaan Yupiter dan keadaan permukaan Yupiter sesudah tumbukan itu, menunjukkan adanya bintik hitam pada belahan selatan planet Yupiter.
Belum lagi ancaman adanya Lubang hitam (Black Hole), yang digambarkan sebagai pemusnahan jagad raya, dikarenakan sampai sekarang belum diketemukan cara untuk menghindar. Sebagaimana benda angkasa / komet yang akan menghantam bumi, maka sudah pasti dilakukan penembakan nuklir terhadap obyek angkasa yang berbahaya tersebut. Sebagaimana didalam penemuan John Archibald Wheeler pada tahun 1967 yang menyebutkan bahwa Lubang hitam itu akan menyedot galaksi yang seukuran bima sakti sebagaimana galaksi kita. Dan pada Lubang hitam tersebut obyek-obyek angkasa akan menjadi mampat. Yang sampai sekarang belum diketahui kemana arah obyek angkasa yang sudah terserap oleh Lubang hitam tersebut. Sehingga kedepannya perlunya anak bangsa mengambil pelajaran dari keberadaan Lubang Hitam ataupun obyek-obyek angkasa yang menjadi ancaman terhadap bumi.
Kedepannya bangsa kita harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembangkan teknologi itu dengan swadaya tanpa terlalu terikat dengan bangsa lain, mulai dari teknologi alat optiknya maupun konstruksi bangunan observatorium hingga teknik pengambilan gambar maupun citra. Dan dapat memberi sumbangan kepada dunia akan penemuan astronomi yang dilakukan, guna mengangkat citra dimata dunia.
Sebetulnya observatorium tidak dipergunakan sebagai wahana untuk mengamati obyek-obyek luar angkasa saja, namun dapat dipergunakan juga mengamati meteorologi dan juga vulkanologi, sedikit kami beri gambaran akan model-model observatorium lain didunia, sebagian besar mengguna media optik untuk menangkap obyek-obyek gambar yang ada diangkasa namun pada tahun 1990 NASA telah mengoperasikan teleskop yang diletakkan di luar angkasa yaitu Hubble Space Telescope, hal ini dimaksud agar mengurangi efek turbulensi dari atmosfir. Ada teleskop lainnya yang unik antara lain teleskop Arecibo Observatory, Puerto Rico yang dibangun pada tahun 1963 dengan menggunakan gelombang elektromagnetis sebagai media untuk menangkap obyek luar angkasa dengan menggunakan antene parabola raksasa dengan diameter 300 m.
Kalau melihat perkembangan teknologi Observatorium yang ada sekarang ini, maka sebenarnya observatorium matahari yang pertama dibangun manusia pada tahun 300 sebelum Masehi di Chankilo, Peru, dengan menggunakan 13 menara. Kemudian oleh Muhammad Al Fazari pada tahun 700 mengembangkan laboratorium luar angkasa di era modern ini, Dan kini ada observatorium yang dibangun di berbagai belahan bumi termasuk di kutub selatan, dengan maksud agar mendapatkan obyek luar angkasa lebih akurat. Namun dalam perkembangannya observatorium kini dikembangkan di orbit bumi, sebagaimana Teleskop Hubble milik NASA, kini beberapa negara mengembangkan bersaing ketat pada pengembangan observatorium di luar angkasa. Termasuk diantaranya India telah mengembang Chandra X Ray Observatorium, yaitu observatorium di luar angkasa yang menggunakan media sinar X.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kita sangat tertinggal dalam memberi sumbangan kepada dunia, akan manfaat kepada sesama manusia dengan mengeksplorasi alam jagad raya ini. Maka saran yang kami sampaikan adalah agar segenap anak bangsa Indonesia sama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan pengeksplorasian luar angkasa.